William Soeryadjaya adalah pendiri PT Astra Internasional,
seorang pekerja keras, ulet dan pantang menyerah untuk membangun kerajaan
bisnisnya.Bagaimanakah kisah perjalanan bisnis taipan ulung anak pedagang
Majalengka yang bernama Asli Tjia Kian Liong itu? Bisnis yang dilakoni pria
kelahiran Majalengka, Jawa Barat, 20 Desember 1922, itu sesungguhnya diawali
dengan penuh pahit dan getir. William telah menjadi yatim piatu pada usia 12
tahun. Menginjak usia 19 tahun, sekolahnya di MULO, Cirebon, putus di tengah
jalan. Ia kemudian banting setir menjadi pedagang kertas di Cirebon.
Selain berdagang kertas, William muda juga berdagang benang
tenun di Majalaya. Tak begitu lama, ia beralih menjadi pedagang hasil bumi,
seperti minyak kacang, beras, dan gula. "Dengan berdagang, saya dapat
membantu kehidupan saudara-saudara saya," ujar anak kedua dari lima
bersaudara keluarga pedagang ini, suatu ketika.
Dari perolehan hasil berdagang itu, William muda lalu
melanjutkan studinya ke Belanda, dengan masuk ke Middlebare Vakschool V/d Leder
& Schoen Industrie Waalwijk, sekolah industri yang mengajarkan
penyamakan kulit. Begitu kembali ke Tanah Air tahun 1949, William mendirikan
industri penyamakan kulit, yang kepengurusannya dia serahkan kepada seorang
kawannya. Tiga tahun kemudian, William mendirikan CV Sanggabuana, bergerak di
bidang perdagangan dan ekspor-impor. Cuma cilakanya, dalam menggeluti bisnis
ini, ia ditipu rekannya. "Saya rugi jutaan DM," ujar William.
Lima tahun kemudian, atau tepatnya tahun 1957, bersama Drs
Tjia Kian Tie, adiknya, dan Lim Peng Hong, kawannya, William mendirikan PT
Astra Internasional Inc. Bisnis perusahaan barunya ini pada mulanya hanya
bergerak dalam pemasaran minuman ringan merek Prem Club, lalu ditambah dengan
mengekspor hasil bumi. Dalam perkembangan berikutnya, lahan garapan usaha astra
meluas ke sektor otomotif, peralatan berat, peralatan kantor, perkayuan, dan
sebagainya. Astra tumbuh bak "pohon rindang", seperti yang
ditamsilkan William sendiri.
Keberhasilan Astra ketika itu, diakui William, tidak
terlepas berkat ada kebijaksanaan Pemerintah Orde Baru, yang memberi angin
sejuk kepada dunia usaha untuk berkembang. Salah satu contohnya tahun
1968-1969, Astra diperkenankan memasok 800 kendaraan truk merek Chevrolet.
Kebetulan, saat itu pemerintah sedang mengadakan program rehabilitasi
besar-besaran. Saking banyaknya yang membutuhkan, kendaraan truk itu laris bak
pisang goreng. Apalagi, ketika itu terjadi kenaikan kurs dollar, dari Rp 141
menjadi Rp 378
per dollar AS.
"Bisa dibayangkan berapa keuntungan kami," ujar
Oom Willem, panggilan akrabnya, kala itu. Sejak itu pula Astra kerap ditunjuk
sebagai rekanan pemerintah dalam menyediakan berbagai sarana pembangunan.
Dalam perjalanan selanjutnya, Astra tak hanya sebatas
memasok, tetapi juga mulai merakit sendiri truk Chevrolet. Lalu, mengageni dan
merakit alat besar, Komatsu, mobil Toyota, dan Daihatsu, sepeda motor Honda,
dan mesin fotokopi Xerox. Yang berikutnya pula, akhirnya lahan usaha yang baru
ini menjadi "mesin uang" dari PT Astra Internasional Inc.
Masih ada satu bisnis Astra yang lain, yaitu agrobisnis.
Astra yang omzetnya pada tahun 1984 mencapai 1,5 miliar dollar AS masuk ke
agrobisnis dengan membuka kawasan pertanian kelapa dan casava seluas 15.000
hektar di Lampung. Namun, bukanya tanpa alasan Astra masuk ke sektor
agrobisnis. "Agrobisnis yang mengusahakan peningkatan produksi pada sektor
pertanian itu merupakan gagasan pemerintah yang patut ditanggapi berbagai
kalangan wirausahawan Indonesia," kata William dalam ceramahnya di Universitas
Katholik Parahyangan tahun 1984.
Pada tahun itu juga Astra membeli Summa Handelsbank Ag,
Deulsdorf, Jerman. Pengelolaan bank yang tak ada kaitannya dengan bisnis Astra
ini diserahkan kepada putra tertuanya, Edward Soeryadjaya, sarjana ekonomi lulusan
Jerman Barat.
Di bank ini William mengantongi 60 persen saham yang dibagi
rata dengan Edward. Cuma, sayangnya, Edward kurang berhati-hati dalam
menjalankan roda usaha perbankan itu. Edward terlalu royal dalam mengumbar
kredit. Akibatnya, tahun 1992 bank ini dilanda utang yang begitu besar dan
untuk melunasinya, terpaksa William melepas kepemilikannya di Astra.
William pasrah. Ia selalu kembalikan kepada Tuhan. Ia selalu
berpegang pada prinsip: Manusia berusaha, Tuhan menentukan. Yang paling penting
baginya ketika itu adalah nasib para karyawan dan nasabah Bank Summa. Ia
teramat sedih membayangkan pegawai sebanyak itu harus kehilangan mata
pencahariannya. Oleh karenanya ia rela menjual saham-sahamnya di Astra guna
memenuhi kewajiban Bank Summa.
Banyak spekulasi yang berkembang ketika Oom Willem terpaksa
menjual sahamnya di Astra.
Spekulasi yang banyak diyakini orang adalah adanya rekayasa
pemerintah untuk menjatuhkan Oom Willem. Namun, Oom Willem sendiri tidak pernah
merasa dikorbankan oleh sistem. Semua itu dianggapnya sebagai konsekuensi
bisnis. Ia tidak mau larut dalam tekanan spekulasi dan keluhan. Melainkan ia
pasrah dengan tulus kepada kehendak Tuhan. Dengan ketulusan itu pula, ia terus
melangkah maju ke depan dengan pengharapan yang hidup. Dan, kini, salah satu
kepeduliannya yang terbesar adalah bagaimana Astra dapat terus berperan sebagai
agen pertumbuhan ekonomi nasional, yang antara lain dapat membuka lapangan
kerja lebih luas.
Memang, membuka lapangan kerja, adalah salah satu impiannya
yang tetap membara dari dulu hingga kini. Sebuah impian dan obsesi yang
dilandasi kepeduliannya kepada sesama. "Salah satu hasrat saya dari dulu
adalah membuka lapangan kerja," katanya. Apalagi kondisi Indonesia saat
ini, yang dilanda krisis ekonomi, yang berakibat bertambahnya pengangguran.
Impian inilah yang mendorong Omm Wilem membeli 10 juta saham
PT Mandiri Intifinance. Di sini, ia mengumpulkan dana untuk diinvestasikan ke
dalam pengembangan usaha petani-petani kecil dan small and medium enterprises
(usaha-usaha kecil dan menengah). Agar dapat menciptakan lapangan-lapangan
kerja baru dan meningkatkan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya akan
mengangkat bangsa ini dari keterpurukan.
Namun, yang patut dipuji dari sikap William semasa
kejayaannya di Astra adalah kepeduliannya terhadap rekannya, pengusaha kecil.
Dalam suatu tulisannya di harian Suara Karya, "Peranan Pengusaha Besar
Dalam Kerja Sama dengan Pengusaha Kecil demi Suksesnya Pelita IV",
mengetengahkan bentuk-bentuk kerja sama antara yang besar dan yang kecil.
Misalnya, menjadikan perusahaan besar sebagai market dari perusahaan kecil
dalam bentuk leadership dan menjadi perusahaan kecil sebagai bagian dari
service network produk perusahaan besar.
Sikapnya yang lain, yang juga patut ditiru, adalah
kepeduliannya terhadap dunia pendidikan. William merelakan tanahnya di
Cilandak, Jakarta Selatan, terjual dengan harga "miring" bagi
pembangunan gedung Institut Prasetya Mulya, lembaga pendidikan yang dimaksudkan
mencetak tenaga-tenaga manajer yang andal. Sejumlah konglomerat juga ikut
membidani lembaga. William sendiri kala itu duduk sebagai Wakil Ketua Dewan
Pembina.
Sikap religiusnya pun merupakan salah satu contoh yang baik
dalam menjalankan roda usahanya. Penganut Protestan yang teguh ini percaya
betul bahwa keberhasilan yang diperolehnya , selain kerja kerasnya bersama
semua karyawan, juga berkat rahmat dari Tuhan, bukan semata dari dirinya.
Semangatnya dalam menempuh bisnis pun patut dijadikan
panutan. Kalau ia terjegal dalam kancah bisnis, itu bukanlah akhir dari
perjalanan bisnisnya, melainkan justru awal dari kebangkitannya.
William yang lahir di Majalengka, Jawa Barat, 20 Desember
1922, adalah pribadi yang rendah hati dan bersahaja. Keberhasilannya membangun
Astra Internasional tidak pernah diklaim sebagai keberhasilan dirinya. Ketika
ditanya mengenai keberhasilannya, ia mengatakan, ”Keberhasilan Astra berkat
kerja keras semua karyawan dan rahmat Tuhan, bukan karena keberhasilan saya pribadi.”
William juga seorang visioner yang seakan mengerti ke mana
bisnis akan bergerak. Ia juga adalah salah satu pelopor modernisasi industri
otomotif nasional. Ia membangun jaringan bisnis dengan core product di sektor
otomotif. Namun, memang, pertumbuhan bisnisnya tidak pernah lepas dari campur
tangan pemerintah.
Keberhasilannya dalam berbisnis menjadikan ia menduduki
banyak jabatan penting di sejumlah perusahaan, terutama yang berbasis otomotif.
William menjadi orang pertama Asia yang menjadi anggota
Dewan Penyantun The Asia Society yang didirikan John D Rockefeller III di New
York, AS, tahun 1956. Ia menarik diri dari dunia bisnis tahun 1992 ketika Bank
Summa milik anaknya, Edward, kolaps dan harus dilikuidasi sehingga memaksanya
melepas 100 juta lembar saham Astra Internasional guna melunasi kewajibannya.
Beliau meninggal pada usia 78 tahun tepatnya hari Jumat (2/4/2010).
ref :
id.wikipedia.org
kolom-biografi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar